Ibadah: Jawaban Islam atas Hakikat Hidup Bahagia dan Bermakna

Dua dekade terakhir ini fokus kajian pada bidang psikologi mulai berpindah ke arah yang lebih positif. Kemunculan kajian psikologi positif yang digagas Martin Seligman memberikan fokus baru yang membahas kesejahteraan manusia serta kekuatan dan potensi yang dimilikinya (Compton & Hoffman, 2012). Tujuan akhir dari kajian psikologi positif adalah membantu manusia untuk menjadi sejahtera, menjalani kehidupan yang memuaskan, serta merealisasikan potensi mereka.
Salah satu hal yang banyak dibahas dalam psikologi positif adalah tentang kebahagiaan. Kebahagiaan di sini didefinisikan sebagai keadaan emosional seseorang, bagaimana perasaan mereka tentang dunia dan dirinya (Compton & Hoffman, 2012). Lyubomirsky, King, dan Diener (2005) menemukan bahwa kebahagiaan berkorelasi dengan kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan seperti pernikahan, performa kerja, pertemanan, dan lain-lain. Mereka juga menemukan fakta bahwa kebahagiaanlah yang mendahului kesuksesan tersebut dan bukan sebaliknya. Kesimpulannya, kebahagiaan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia.
Dalam kajian psikologi, kebahagiaan adalah salah satu komponen dari subjective well-being. Salah satu prediktor subjective well-being adalah adanya rasa kebermaknaan hidup atau sense of meaning in life (Compton & Hoffman, 2012). Secara teoritis, rasa kebermaknaan dalam hidup adalah perasaan atau evaluasi subjektif individu bahwa dirinya memiliki tujuan atau arah dalam hidup serta seberapa bermakna hidupnya (Jung, 2015; Stillman, Lambert, Fincham, & Baumeister, 2010). Rasa kebermaknaan ini merupakan hal yang fundamental karena memengaruhi bagaimana seorang individu memaknakan dunia dan peristiwa dalam hidupnya (Suyemoto & MacDonald, 1996 dalam Savolaine & Granello, 2002). Pentingnya rasa kebermaknaan hidup ini berlaku untuk individu pada segala usia (Steger, Oishi, & Kashdan, 2009). Selain itu, individu yang melaporkan telah menemukan makna hidup ditemukan lebih sehat secara fisik, lebih bahagia, dan mengalami lebih sedikit depresi dibandingkan individu yang belum menemukan makna hidup (Debats, 1990; Krause, 2009, dalam Santrock, 2014).
Rasa kebermaknaan hidup inilah yang menjadi salah satu mata rantai penghubung antara pembahasan agama dengan subjective well-being. Steger & Frazier (2005) menemukan bahwa rasa kebermaknaan dalam hidup menjadi perantara perilaku beragama sehari-hari dengan well-being. Selain itu, Compton & Hoffman (2012) menulis bahwa salah satu alasan mengapa agama banyak dihubungkan dengan subjective well-being adalah karena agama menyediakan suatu rasa kebermaknaan dalam hidup dan merupakan salah satu jalur untuk meningkatkan rasa kebermaknaan hidup. Agama juga memainkan peranan penting dalam meningkatkan eksplorasi rasa kebermaknaan dalam hidup (Krause, 2008, 2009, dalam Santrock, 2014).
Agama Islam tentu juga menyediakan suatu rasa kebermaknaan dalam hidup. Sebagai seorang muslim, tentu kita harus melihat segala hal dari kacamata Islam, yaitu terkait bagaimana seorang muslim harus mencari makna hidupnya. Tentu kita harus mencari jawaban ini kepada Dzat yang telah menciptakan manusia yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, Pencipta pasti paling mengetahui tentang ciptaan-Nya (Naro, 2014).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat (51) : 56). Jadi, Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan kita dengan tujuan agar kita beribadah kepada-Nya. Hal tersebut berarti tujuan hidup kita adalah untuk beribadah kepada-Nya. Jika kita berkaca dari pengertian teoritis tentang rasa kebermaknaan hidup yang telah disebutkan, maka seharusnya makna hidup seorang muslim adalah evaluasi subjektif kita bahwa tujuan hidup kita adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Selanjutnya, kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan ibadah. Makna khusus ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah segenap perbuatan yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik ucapan maupun perbuatan lahir dan batin seperti takut, cemas (dari siksa Allah), tawakkal, shalat, zakat, puasa, dan hal-hal lain yang merupakan syariat Islam (Al-Utsaimin, 2016). Jadi, beribadah adalah kita melakukan sesuatu untuk meraih cinta dan ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam beribadah, kita diperintahkan untuk tidak menyekutukan Allah sebagaimana dalam Q.S. An-Nisa (4) ayat 36 yang berbunyi: “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan suatu apapun.” Apabila kita tidak menyekutukan Allah, maka kita telah bertauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Dan tauhid inilah yang merupakan perintah paling agung bagi seorang muslim (Wahhab, 2016).
Ibadah dan tauhid ini dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada hakikatnya, semua hal yang kita lakukan dapat bernilai ibadah, karena setiap amal itu tergantung pada niatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu (tergantung) pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang itu hanya mendapatkan apa yang diniatkannya…” (H.R. Bukhari dan Muslim, dalam An-Nawawi, n.d.). Oleh karena itu, aktivitas sehari-hari kita juga dapat bernilai ibadah apabila kita meniatkannya sebagai ibadah, yaitu untuk meraih cinta dan ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian, kita harus tetap bertauhid dalam hal ini, yaitu dengan tidak menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala dalam niat perbuatan tersebut. Contohnya, kita belajar di kampus diniatkan untuk mencari ilmu yang bermanfaat yang dengannya kita dapat bermanfaat bagi umat Islam sehingga Allah ta’ala meridhai kita. Pembahasan niat ini juga berhubungan dengan fungsi fundamental rasa kebermaknaan hidup yang telah disebutkan dari Suyemoto & MacDonald (1996) (dalam Savolaine & Granello, 2002) yaitu tentang bagaimana seorang individu memaknakan dunia dan peristiwa dalam hidupnya. Niat yang kita bangun saat akan beraktivitas termasuk ke dalam bagaimana kita memaknakan aktivitas tersebut.
Kesimpulannya, kebahagiaan dan rasa kebermaknaan dalam hidup penting dalam kehidupan manusia. Rasa kebermaknaan hidup merupakan hal yang fundamental karena ia memberikan manusia arah dan tujuan dalam hidupnya. Adanya rasa kebermaknaan hidup dalam diri kita akan memberikan dampak positif seperti lebih sehat dan lebih bahagia. Rasa kebermaknaan hidup ini juga merupakan mata rantai penghubung antara pembahasan agama dengan subjective well-being. Agama Islam telah menyediakan panduan tentang bagaimana seharusnya seorang muslim mencari makna dalam hidupnya, yaitu dengan mengetahui tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam beribadah, kita diperintahkan untuk tidak menyekutukan Allah ta’ala. Kedua hal tersebut (ibadah dan tauhid) dapat kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari lewat aktivitas harian kita yang diniatkan untuk meraih ridha Allah ta’ala.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Utsaimin, M.B.S. (2016). Syarhu Tsalatsatil Ushul (Ulasan Tuntas tentang Tiga Prinsip Pokok). (Z.A. Syamsuddin, A.H. Arifin, Terjemahan). Jakarta: Darul Haq
Al-Qur’an.
An-Nawawi. (n.d.). Matan Hadits Arba’in. (Tim Pustaka Ibnu ‘Umar, Terjemahan). Jakarta: Pustaka Ibnu ‘Umar.
Compton, W.C., & Hoffman, E. (2013). Positive Psychology: The Science of Happiness and Flourishing (2nd ed.). Belmont: Wadsworth, Cengage Learning.
Jung, J. H. (2015). Sense of Divine Involvement and Sense of Meaning in Life: Religious Tradition as a Contingency. Journal for the Scientific Study of Religion, 54(1), 119–133. doi:10.1111/jssr.12170
Lyubomirsky, S., King, L., & Diener, E. (2005). The Benefits of Frequent Positive Affect: Does Happiness Lead to Success? Psychological Bulletin, 131(6), 803–855. https://doi.org/10.1037/0033-2909.131.6.803
Naro, A.H. (2014). Untukmu yang Berjiwa Hanif. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.
Santrock, J.W. (2014). A Topical Approach to Life-Span Development (7th ed.). New York: McGraw-Hill Education
Savolaine, J. & Granello, P.F. (2002). The Function of Meaning and Purpose for Individual Wellness. The Journal of Humanistic Counseling, Education and Development, 41(2), 178–189. doi:10.1002/j.2164-490x.2002.tb00141.x
Steger, M. F., & Frazier, P. (2005). Meaning in Life: One Link in the Chain From Religiousness to Well-Being. Journal of Counseling Psychology, 52(4), 574–582. doi:10.1037/0022-0167.52.4.574
Steger, M. F., Oishi, S., & Kashdan, T. B. (2009). Meaning in life across the life span: Levels and correlates of meaning in life from emerging adulthood to older adulthood. The Journal of Positive Psychology, 4(1), 43–52. doi:10.1080/17439760802303127
Stillman, T. F., Lambert, N. M., Fincham, F. D., & Baumeister, R. F. (2010). Meaning as Magnetic Force. Social Psychological and Personality Science, 2(1), 13–20. doi:10.1177/1948550610378382
Wahhab, M.B.A. (2016). Al-Ushul Ats-Tsalatsah (Tiga Landasan Pokok Akidah Islam). (A.H. Arifin, Terjemahan). Jakarta: Darul Haq

Tinggalkan Komentar