Contoh Hasil Perancangan Pelatihan

Saat kuliah di Fapsi Unpad, saya pernah mengikuti Mata Kuliah Perancangan Program Pelatihan. Apa yang saya pelajari di sana tidak jauh berbeda dari course Basic Instructional Design dari Ruangguru, kecuali bagian membuat storyboard. Namun kelebihan di mata kuliah ini tentu saya bisa bertanya dan bimbingan dengan dosen yang memang ahli dalam bidang perancangan pelatihan. Selain itu, hal-hal yang berkenaan dengan dasar-dasar psikologi juga lebih ditekankan, seperti karakteristik perkembangan manusia, psikologi pendidikan, dan lain-lain.

Di akhir mata kuliah ini, saya diberi tugas untuk merancang sebuah pelatihan dari awal sampai akhir sebagai UAS. Semoga tugas tersebut dapat bermanfaat menjadi contoh perancangan program pelatihan.

Selain itu, saya juga pernah menjadi Koordinator Divisi Karya Tulis Ilmiah di Scientific Gateway (sebuah kelompok kegiatan mahasiswa di Fapsi Unpad yang berfokus pada lomba-lomba akademik) tahun 2020. Saat itu saya juga menyusun kurikulum singkat mengenai pelatihan kepenulisan ilmiah bagi para anggota divisi. Saat menyusunnya, saya menggunakan template pengembangan silabus kependidikan. Silakan lihat di bawah ini.

Perbedaan Instructional Design dan Perancangan Pelatihan

Perancangan pelatihan agaknya lebih dikenal daripada Instructional Design. Pada umumnya perancangan pelatihan selalu ada di setiap organisasi apalagi organisasi mahasiswa seperti BEM dan himpunan. Biasanya ada biro atau divisi khusus yang menangani training dan pengembangan organisasi. Tentu untuk membuat training diperlukan perancangan pelatihan.

Di sisi lain, Instructional Design belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Penjelasan tentang Instructional Design bisa dibaca di post lain yang ada di blog ini. Secara umum, Instructional Design melibatkan proses yang tidak berbeda jauh dari perancangan pelatihan. Memang batas antara keduanya cukup tipis. Secara garis besar, tahap-tahap yang dilakukan sama. Dimulai dari analisis kebutuhan pembelajaran atau pelatihan, analisis audiens, penyusunan silabus, penyusunan learning content, pembuatan learning material, hingga eksekusi dan evaluasi.

Yuk, kita bahas perbedaannya!

Perbedaan

Penyampaian Pelatihan/Pembelajaran

Pada umumnya, Instructional Design digunakan untuk mengembangkan course e-learning, sehingga bentuknya lebih banyak berupa pembelajaran daring. Sedangkan perancangan pelatihan biasanya digunakan untuk mengembangkan pelatihan atau training yang bersifat tatap muka luring. Selain itu, e-learning dapat bersifat synchronous (terjadi bersamaan, audiens menyimak pemateri secara real-time) maupun asynchronous (tidak terjadi bersamaan). Di sisi lain, training yang bersifat tatap muka luring maupun daring tentu bersifat synchronous, walaupun tidak menutup kemungkinan training diberikan secara asynchronous.

Sasaran Pelatihan/Pembelajaran

Pembahasan mengenai sasaran pelatihan atau learning objective hampir selalu menyinggung tentang Bloom’s Taxonomy. Secara garis besar, Bloom’s Taxonomy membagi jenis tujuan pembelajaran atau pelatihan menjadi tiga domain, yaitu kognitif (berhubungan dengan pengetahuan), afektif (berhubungan dengan sikap), serta psikomotor (berhubungan dengan skill atau keterampilan). Instructional Design biasanya berkenaan dengan pembelajaran yang melibatkan domain kognitif, sedangkan perancangan training pada umumnya lebih fleksibel dan intensif sehingga dapat menyasar berbagai domain.

Pengembangan Learning Material

Learning Material adalah media-media yang digunakan dalam proses pembelajaran audiens, seperti worksheet, video, dan sebagainya. Salah satu ciri khas Instructional Design adalah pembuatan storyboard, salah satu metode pengembangan learning material. Dari storyboard, dibuatlah media pembelajaran berupa animasi, media audiovisual, ataupun video instruksi. Di sisi lain, perancangan pelatihan atau training biasa jarang menggunakan animasi dan semacamnya.

Nah, itu dia perbedaan-perbedaan antara perancangan pelatihan dengan Instructional Design. Apakah ada hal lainnya yang terlewat? Silakan komen di bawah 😀


Sumber:

  • Basic Instructional Design course dari Skill Academy by Ruangguru
  • Mata Kuliah Perancangan Program Pelatihan

Catatan: penjabaran di atas adalah murni hasil pemikiran sendiri, tidak disebutkan secara eksplisit dalam dua sumber yang dicantumkan.

Ibadah: Jawaban Islam atas Hakikat Hidup Bahagia dan Bermakna

Dua dekade terakhir ini fokus kajian pada bidang psikologi mulai berpindah ke arah yang lebih positif. Kemunculan kajian psikologi positif yang digagas Martin Seligman memberikan fokus baru yang membahas kesejahteraan manusia serta kekuatan dan potensi yang dimilikinya (Compton & Hoffman, 2012). Tujuan akhir dari kajian psikologi positif adalah membantu manusia untuk menjadi sejahtera, menjalani kehidupan yang memuaskan, serta merealisasikan potensi mereka.
Salah satu hal yang banyak dibahas dalam psikologi positif adalah tentang kebahagiaan. Kebahagiaan di sini didefinisikan sebagai keadaan emosional seseorang, bagaimana perasaan mereka tentang dunia dan dirinya (Compton & Hoffman, 2012). Lyubomirsky, King, dan Diener (2005) menemukan bahwa kebahagiaan berkorelasi dengan kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan seperti pernikahan, performa kerja, pertemanan, dan lain-lain. Mereka juga menemukan fakta bahwa kebahagiaanlah yang mendahului kesuksesan tersebut dan bukan sebaliknya. Kesimpulannya, kebahagiaan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia.
Dalam kajian psikologi, kebahagiaan adalah salah satu komponen dari subjective well-being. Salah satu prediktor subjective well-being adalah adanya rasa kebermaknaan hidup atau sense of meaning in life (Compton & Hoffman, 2012). Secara teoritis, rasa kebermaknaan dalam hidup adalah perasaan atau evaluasi subjektif individu bahwa dirinya memiliki tujuan atau arah dalam hidup serta seberapa bermakna hidupnya (Jung, 2015; Stillman, Lambert, Fincham, & Baumeister, 2010). Rasa kebermaknaan ini merupakan hal yang fundamental karena memengaruhi bagaimana seorang individu memaknakan dunia dan peristiwa dalam hidupnya (Suyemoto & MacDonald, 1996 dalam Savolaine & Granello, 2002). Pentingnya rasa kebermaknaan hidup ini berlaku untuk individu pada segala usia (Steger, Oishi, & Kashdan, 2009). Selain itu, individu yang melaporkan telah menemukan makna hidup ditemukan lebih sehat secara fisik, lebih bahagia, dan mengalami lebih sedikit depresi dibandingkan individu yang belum menemukan makna hidup (Debats, 1990; Krause, 2009, dalam Santrock, 2014).
Rasa kebermaknaan hidup inilah yang menjadi salah satu mata rantai penghubung antara pembahasan agama dengan subjective well-being. Steger & Frazier (2005) menemukan bahwa rasa kebermaknaan dalam hidup menjadi perantara perilaku beragama sehari-hari dengan well-being. Selain itu, Compton & Hoffman (2012) menulis bahwa salah satu alasan mengapa agama banyak dihubungkan dengan subjective well-being adalah karena agama menyediakan suatu rasa kebermaknaan dalam hidup dan merupakan salah satu jalur untuk meningkatkan rasa kebermaknaan hidup. Agama juga memainkan peranan penting dalam meningkatkan eksplorasi rasa kebermaknaan dalam hidup (Krause, 2008, 2009, dalam Santrock, 2014).
Agama Islam tentu juga menyediakan suatu rasa kebermaknaan dalam hidup. Sebagai seorang muslim, tentu kita harus melihat segala hal dari kacamata Islam, yaitu terkait bagaimana seorang muslim harus mencari makna hidupnya. Tentu kita harus mencari jawaban ini kepada Dzat yang telah menciptakan manusia yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, Pencipta pasti paling mengetahui tentang ciptaan-Nya (Naro, 2014).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat (51) : 56). Jadi, Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan kita dengan tujuan agar kita beribadah kepada-Nya. Hal tersebut berarti tujuan hidup kita adalah untuk beribadah kepada-Nya. Jika kita berkaca dari pengertian teoritis tentang rasa kebermaknaan hidup yang telah disebutkan, maka seharusnya makna hidup seorang muslim adalah evaluasi subjektif kita bahwa tujuan hidup kita adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Selanjutnya, kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan ibadah. Makna khusus ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah segenap perbuatan yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik ucapan maupun perbuatan lahir dan batin seperti takut, cemas (dari siksa Allah), tawakkal, shalat, zakat, puasa, dan hal-hal lain yang merupakan syariat Islam (Al-Utsaimin, 2016). Jadi, beribadah adalah kita melakukan sesuatu untuk meraih cinta dan ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam beribadah, kita diperintahkan untuk tidak menyekutukan Allah sebagaimana dalam Q.S. An-Nisa (4) ayat 36 yang berbunyi: “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan suatu apapun.” Apabila kita tidak menyekutukan Allah, maka kita telah bertauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Dan tauhid inilah yang merupakan perintah paling agung bagi seorang muslim (Wahhab, 2016).
Ibadah dan tauhid ini dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada hakikatnya, semua hal yang kita lakukan dapat bernilai ibadah, karena setiap amal itu tergantung pada niatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu (tergantung) pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang itu hanya mendapatkan apa yang diniatkannya…” (H.R. Bukhari dan Muslim, dalam An-Nawawi, n.d.). Oleh karena itu, aktivitas sehari-hari kita juga dapat bernilai ibadah apabila kita meniatkannya sebagai ibadah, yaitu untuk meraih cinta dan ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian, kita harus tetap bertauhid dalam hal ini, yaitu dengan tidak menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala dalam niat perbuatan tersebut. Contohnya, kita belajar di kampus diniatkan untuk mencari ilmu yang bermanfaat yang dengannya kita dapat bermanfaat bagi umat Islam sehingga Allah ta’ala meridhai kita. Pembahasan niat ini juga berhubungan dengan fungsi fundamental rasa kebermaknaan hidup yang telah disebutkan dari Suyemoto & MacDonald (1996) (dalam Savolaine & Granello, 2002) yaitu tentang bagaimana seorang individu memaknakan dunia dan peristiwa dalam hidupnya. Niat yang kita bangun saat akan beraktivitas termasuk ke dalam bagaimana kita memaknakan aktivitas tersebut.
Kesimpulannya, kebahagiaan dan rasa kebermaknaan dalam hidup penting dalam kehidupan manusia. Rasa kebermaknaan hidup merupakan hal yang fundamental karena ia memberikan manusia arah dan tujuan dalam hidupnya. Adanya rasa kebermaknaan hidup dalam diri kita akan memberikan dampak positif seperti lebih sehat dan lebih bahagia. Rasa kebermaknaan hidup ini juga merupakan mata rantai penghubung antara pembahasan agama dengan subjective well-being. Agama Islam telah menyediakan panduan tentang bagaimana seharusnya seorang muslim mencari makna dalam hidupnya, yaitu dengan mengetahui tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam beribadah, kita diperintahkan untuk tidak menyekutukan Allah ta’ala. Kedua hal tersebut (ibadah dan tauhid) dapat kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari lewat aktivitas harian kita yang diniatkan untuk meraih ridha Allah ta’ala.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Utsaimin, M.B.S. (2016). Syarhu Tsalatsatil Ushul (Ulasan Tuntas tentang Tiga Prinsip Pokok). (Z.A. Syamsuddin, A.H. Arifin, Terjemahan). Jakarta: Darul Haq
Al-Qur’an.
An-Nawawi. (n.d.). Matan Hadits Arba’in. (Tim Pustaka Ibnu ‘Umar, Terjemahan). Jakarta: Pustaka Ibnu ‘Umar.
Compton, W.C., & Hoffman, E. (2013). Positive Psychology: The Science of Happiness and Flourishing (2nd ed.). Belmont: Wadsworth, Cengage Learning.
Jung, J. H. (2015). Sense of Divine Involvement and Sense of Meaning in Life: Religious Tradition as a Contingency. Journal for the Scientific Study of Religion, 54(1), 119–133. doi:10.1111/jssr.12170
Lyubomirsky, S., King, L., & Diener, E. (2005). The Benefits of Frequent Positive Affect: Does Happiness Lead to Success? Psychological Bulletin, 131(6), 803–855. https://doi.org/10.1037/0033-2909.131.6.803
Naro, A.H. (2014). Untukmu yang Berjiwa Hanif. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.
Santrock, J.W. (2014). A Topical Approach to Life-Span Development (7th ed.). New York: McGraw-Hill Education
Savolaine, J. & Granello, P.F. (2002). The Function of Meaning and Purpose for Individual Wellness. The Journal of Humanistic Counseling, Education and Development, 41(2), 178–189. doi:10.1002/j.2164-490x.2002.tb00141.x
Steger, M. F., & Frazier, P. (2005). Meaning in Life: One Link in the Chain From Religiousness to Well-Being. Journal of Counseling Psychology, 52(4), 574–582. doi:10.1037/0022-0167.52.4.574
Steger, M. F., Oishi, S., & Kashdan, T. B. (2009). Meaning in life across the life span: Levels and correlates of meaning in life from emerging adulthood to older adulthood. The Journal of Positive Psychology, 4(1), 43–52. doi:10.1080/17439760802303127
Stillman, T. F., Lambert, N. M., Fincham, F. D., & Baumeister, R. F. (2010). Meaning as Magnetic Force. Social Psychological and Personality Science, 2(1), 13–20. doi:10.1177/1948550610378382
Wahhab, M.B.A. (2016). Al-Ushul Ats-Tsalatsah (Tiga Landasan Pokok Akidah Islam). (A.H. Arifin, Terjemahan). Jakarta: Darul Haq

Tauhid dan Hati yang Sehat Pangkal Mental yang Sehat

Betapa beruntungnya seorang muslim. Allah ta’ala tidak membiarkan kita berkelana hidup di dunia ini tanpa tujuan dan petunjuk. Allah telah menurunkan petunjuk hidup bagi seorang muslim lewat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah ta’ala berfirman: “Sungguh, Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan membawa kebenaran untuk manusia” (Q.S. Az-Zumar (39): 41). Islam sebagai jalan hidup menggariskan model komprehensif dari manusia, menggabungkan aspek spiritual, psikologis, emosional, dan sosial (Utz, 2011).
Allah telah menciptakan seluruh alam semesta termasuk kita, dan Dia ta’ala telah menetapkan tujuan hidup bagi kita. Allah berfirman: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat (51):56). Dari ayat tersebut, kita dapat mengetahui bahwa tujuan kita diciptakan, dengan kata lain tujuan hidup kita, adalah untuk beribadah kepada-Nya. Dalam kitab Al-Ushul Ats-Tsalatsah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan bahwa makna “beribadah” pada ayat tersebut adalah untuk bertauhid atau mengesakan-Nya dalam beribadah (al-Utsaimin, 2016).
Allah telah menganugerahkan bagi kita berbagai macam kenikmatan yang dapat digunakan untuk menunjang peribadahan kepada-Nya. Salah satu dari kenikmatan itu adalah jiwa. Haque (2004) menyatakan bahwa dalam konsep Islam, jiwa manusia dibagi menjadi tiga. Ketiga aspek inilah yang berkontribusi dalam kesehatan mental, yaitu:
Ruh, yaitu suatu zat yang ditiupkan oleh Allah kepada manusia, memiliki fitrah yang telah ditetapkan Allah
Akal atau kecerdasan yang berfungsi untuk penalaran
Hati (qalb), memiliki fungsi kognitif, sebagai sumber kemauan, niat, dan kebijaksanaan.
Allah pun telah memberikan suatu mekanisme bawaan dalam jiwa kita yang berfungsi untuk membimbing perilaku dan memberi peringatan apabila kita melakukan suatu kesalahan, yaitu fitrah (Haque, 2004). Ia memberi kita potensi untuk menerima tauhid (Pransiska, 2016). Fitrah ini bersifat universal karena semua bayi manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap manusia yang lahir, mereka lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani” (H.R. Bukhari & Muslim) (Purnama, 2013). Maka dari itu, penyebab masalah kesehatan mental adalah penyimpangan dari fitrah atau terganggunya sifat alamiah positif dengan mengikuti hawa nafsu (Haque, 2004). Beberapa sebab penyimpangan fitrah adalah (1) setan (lihat Q.S. An-Nisa (4): 117-120), (2) pengaruh lingkungan dan orang tua, (3) lalai dan mengikuti syahwat, serta (4) hasad (Syamhudi, 2017).
Apabila fitrah adalah potensi dan mekanisme bawaan untuk menerima tauhid, maka salah satu bentuk penyimpangan fitrah adalah menolak tauhid (contohnya agama politeisme atau bahkan ateisme). Banyak riset telah menemukan bahwa religiusitas dan spiritualitas merupakan indikator positif dari well-being (Jackson & Bergeman, 2011). Spesifik untuk agama Islam, religiusitas memiliki hubungan yang kuat dengan subjective well-being dan tidak dipengaruhi oleh kekurangan kesehatan (Tiliouine, Cummins, & Davern, 2009).
Selain fitrah, bagian jiwa lainnya yang berkontribusi dalam kesehatan mental adalah hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal darah. jika segumpal darah tersebut baik maka akan baik pulalah seluruh tubuhnya, adapun jika segumpal darah tersebut rusak maka akan rusak pulalah seluruh tubuhnya, ketahuilah segumpal darah tersebut adalah hati.” (HR. Bukhari no. 52 & Muslim no. 1599) (Buana, 2008). Jadi, apabila hati sehat, maka seharusnya mentalnya pun sehat.
Hati manusia sangat mudah berubah, terbolak-balik atas kehendak Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “… Sesungguhnya hati-hati itu berada di antaradua jari dari jari-jemari Allah, di mana Dia membolak-balikkan hati itu sekehendak-Nya.” (H.R. At-Tirmidzi & Ibnu Majah) (Jawas, 2017). Ia bisa baik dan bisa pula buruk. Allah ta’ala berfirman, “Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya,” (Q.S. Asy-Syams (91): 8). Maka dari itu, manusia memiliki potensi yang sama untuk menjadi baik dan menjadi buruk. Dirangkum dari Utz (2011) dan Jawas (2017) berdasarkan keadaannya, hati manusia memiliki tiga keadaan:
Hati yang sehat, yaitu hati yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah ta’ala serta terbebas dari hawa nafsu dan keraguan atas apa yang Dia turunkan. Ia adalah hati yang senantiasa bertauhid dan menjauhkan diri dari syirik (menyekutukan Allah dalam beribadah).
Hati yang mati, yaitu hati yang tidak mengetahui penciptanya, tidak beribadah kepadanya, serta hanya mengikuti hawa nafsu. Tujuan hidupnya hanyalah dunia yang fana, tanpa mengindahkan peringatan Allah.
Hati yang sakit, yaitu hati yang memiliki iman kepada Allah namun masih memiliki hawa nafsu. Ia melakukan mana saja yang pengaruhnya lebih kuat, apakah ketakwaan atau kemaksiatan.
Syaikh Sholih Al-Fauzan dalam kitabnya Al-Minhah Ar-Robbaniyah mengutarakan bahwa penyebab rusaknya hati adalah dengan terjerumus pada perkara syubhat serta terjatuh dalam maksiat (Tuasikal, 2012). Apabila hati rusak atau sakit, di dalamnya pasti ada penyakit hati.
Salah satu penyakit hati yaitu dengki (ketidaksenangan seseorang terhadap nikmat Allah kepada orang lain) (Jawas, 2017). Pada zaman ini sepertinya dengki sudah banyak tersebar di masyarakat karena maraknya media sosial. Saat kita menggunakan media sosial, secara tidak langsung kita akan melakukan social comparison. Ditemukan bahwa dengki atau iri hati (envy) yang dirasakan hari ini dapat memprediksi berkurangnya kesehatan psikologis pada saat yang sama maupun pada masa depan (Mujcic & Oswald, 2018).
Buruk sangka atau prejudice juga merupakan salah satu penyakit hati. Riset oleh Dinh, Holmberg, Ho, & Haynes (2014) menemukan bahwa tingkat sikap prejudice berkorelasi negatif dengan kesejahteraan (psikologis, sosial, fisik). Artinya, semakin tinggi buruk sangka yang ada dalam seseorang maka semakin rendah kesejahteraannya.
Penyakit-penyakit hati seperti ini harus dibersihkan agar kita memiliki hati yang bersih. Cara paling manjur untuk melakukannya adalah dengan melakukan apa yang dilakukan oleh hati yang bersih, yaitu dengan bertauhid. Maksudnya adalah dengan menjalankan konsekuensi tauhid. Apabila kita bertauhid dengan benar, kita tidak akan merasa dengki karena kita mengimani bahwa Allah telah menentukan porsi kenikmatan bagi setiap manusia. Selain itu, kita juga tidak akan berburuk sangka karena hal tersebut merupakan dosa (lihat Q.S. Al-Hujurat (49): 12) dan orang yang bertauhid akan senantiasa menjauhi dosa.
Kesimpulannya, dalam Islam jiwa dapat dibagi menjadi tiga, yaitu ruh, akal, dan hati. Maka dari itu kesehatan mental dalam agama Islam meliputi kesehatan pada ketiga aspek tersebut. Beberapa penyebab masalah kesehatan mental adalah adalah penyimpangan dari fitrah yang terdapat di dalam ruh (Haque, 2004) dan rusak atau sakitnya hati (HR. Bukhari no. 52 & Muslim no. 1599 dalam Buana, 2008). Solusi dari permasalahan kesehatan mental tersebut adalah bertauhid kepada Allah. Maksudnya adalah (1) mengesakan Allah dalam beribadah sesuai dengan bawaan fitrah dan (2) menjalankan konsekuensinya dalam kehidupan sehari-hari.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an terjemah Bahasa Indonesia.
Buana, S. (2008). Wahai Manusia Lihatlah Hatimu!! Diakses pada 12 Oktober 2019 dari https://muslim.or.id/247-wahai-manusia-lihatlah-hatimu.html
Dinh, K.T., Holmberg, M.D., Ho, I.K., & Haynes, M.C. (2014). The relationship of prejudicial attitudes to psychological, social, and physical well-being within a sample of college students in the United States. Journal of Cultural Diversity, 21(2), 56-66.
Haque, A. (2004). Religion and Mental Health: The Case of American Muslims. Journal of Religion and Health, 43(1), 45–58. doi:10.1023/b:jorh.0000009755.25256.71
Jackson, B. R., & Bergeman, C. S. (2011). How does religiosity enhance well-being? The role of perceived control. Psychology of Religion and Spirituality, 3(2), 149-161. http://dx.doi.org/10.1037/a0021597
Jawas, Y.A.Q. (2017). Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Tazkiyatun Nufus. Bogor: Pustaka At-Takwa.
Mujcic, R. & Oswald, A.J. (2018). Is Envy Harmful to a Society’s Psychological Health and Wellbeing? A Longitudinal Study of 18,000 Adults. Bonn: IZA – Institute of Labor Economics.
Pransiska, T. (2016). Konsepsi Fitrah Manusia dalam Perspektif Islam dan Implikasinya pada Pendidikan Islam Kontemporer. Jurnal Ilmiah Didaktika, 17(1), 1–17. https://doi.org/10.22373/jid.v17i1.1586
Purnama, Y. (2013). Mengenal Agama yang Fitrah. Diakses pada 11 Oktober 2019 dari https://muslim.or.id/12336-mengenal-agama-yang-fitrah.html
Syamhudi, K. (2017). Sebab-Sebab Penyimpangan Dari Fithrah. Diakses pada 12 Oktober 2019 dari https://almanhaj.or.id/6973-sebabsebab-penyimpangan-dari-fithrah.html
Tiliouine, H., Cummins, R. A., & Davern, M. (2009). Islamic religiosity, subjective well-being, and health. Mental Health, Religion & Culture, 12(1), 55–74. doi:10.1080/13674670802118099
Tuasikal, M.A. (2012). Jika Hati Baik…. Diakses pada 12 Oktober 2019 dari https://rumaysho.com/3028-jika-hati-baik.html
al-Utsaimin, M.B.S. (2016). Syarhu Tsalatsatil Ushul (Ulasan Tuntas tentang Tiga Prinsip Pokok). (Z.A. Syamsuddin, A.H. Arifin, Terjemahan). Jakarta: Darul Haq
Utz, A. (2011). Psychology from the Islamic Perspective. Riyadh: Internasional Islamic Publishing House.

Tauhid sebagai Dasar Pernikahan yang Bahagia

Sebagai seorang muslim, tentunya kita harus mengetahui tujuan hidup yang telah ditetapkan oleh Rabb kita, Allah subhanahu wa ta’ala. Dia berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat (51) : 56). Dari ayat tersebut, kita dapat melihat bahwa tujuan hidup kita sebagai muslim yang seharusnya adalah untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Adapun beribadah yang maknanya khusus menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah segenap perbuatan yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik ucapan maupun perbuatan lahir dan batin seperti takut, cemas (dari siksa Allah), tawakkal, shalat, zakat, puasa, dan hal-hal lain yang merupakan syariat Islam (Al-Utsaimin, 2016). Dan pernikahan termasuk syariat Islam, karena Allah ta’ala telah memerintahkannya dalam Q.S. An-Nur (24) : 32. Maka pernikahan termasuk ibadah.
Dalam beribadah, termasuk dalam pernikahan, kita diperintahkan untuk tidak menyekutukan Allah sebagaimana dalam Q.S. An-Nisa (4) : 36 yang berbunyi: “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan suatu apapun.” Apabila kita tidak menyekutukan Allah, maka kita telah bertauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Dan tauhid itulah perintah paling agung bagi seorang muslim (Wahhab, 2016). Maka jelas dalam pernikahan kita harus senantiasa bertauhid.
Tauhid adalah fitrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nashrani” (H.R. Bukhari dan Muslim) (Indonesia Bertauhid, 2015). Lalu dalam satu artikel ilmiah disebutkan bahwa fitrah adalah potensi seseorang untuk menerima tauhid (Pransiska, 2016). Begitu pula pernikahan, ia adalah gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan) (Jawas, 2004). Jadi, sudah seharusnya bahwa pernikahan dan tauhid saling beriringan.
Seseorang yang bertauhid akan diberikan keamanan oleh Allah ta’ala sesuai firman-Nya dalam Q.S. Al-An’am (6) : 82 yaitu: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”. Artinya siapa saja yang beriman kepada Allah ta’ala dan tidak berbuat syirik, maka dia mendapatkan keamanan dan petunjuk di dunia dan di akhirat (Hakim, 2018). Tentu saja keamanan di dunia akan meliputi kehidupan pernikahan. Apabila pasangan suami istri mengisi pernikahan mereka dengan tauhid, maka mereka akan merasa lebih aman dan bahagia.
Penemuan-penemuan riset menyatakan bahwa orang yang religius (mengikuti aktivitas religius) memiliki tingkat kesejahteraan (well-being) yang lebih tinggi (Diener et al., 2011; Hackney & Sanders, 2003; Oishi & Diener, 2014 dalam Newman & Graham, 2018). Newman dan Graham (2018) pula menyimpulkan bahwa konsep kebahagiaan atau well-being dalam Islam terdiri dari aspek hedonis dan eudaimonis (rasa kebermaknaan, rasa memiliki tujuan serta rasa pemenuhan dalam hidup). Apabila dikaitkan dengan tujuan hidup manusia tadi yaitu untuk beribadah, maka dengan kita bertauhid dan beribadah kepada Allah, kita telah melaksanakan tujuan hidup kita. Setelah itu kita akan merasakan suatu sense of fulfillment karenanya dan well-being kita pun akan meningkat. Maka lagi-lagi hal ini menekankan bahwa dengan bertauhid kita akan bahagia dalam kehidupan, salah satunya dalam pernikahan.
Kemudian, apabila suami-istri kedua-duanya bertauhid, hal itu akan menambah kasih sayang. Istri yang taat beragama (dalam hal ini bertauhid) akan memberikan kebaikan bagi suaminya (Asy-Syuri, 2017). Riset menemukan bahwa orang yang memiliki interaksi yang menyenangkan dengan orang yang peduli atau sayang padanya akan lebih puas dengan hidupnya daripada orang yang tidak (Gerstorf et al., 2016 dalam Miller, 2018). Tentu saja kebaikan akan menambah kebahagiaan bagi keduanya.
Seseorang yang bertauhid akan terwujud padanya akhlak yang baik serta amal shalih (Al-Munajjid, 2006). Apabila suami-istri bertauhid dan terwujud akhlak yang baik, tentu hubungan yang terjalin akan harmonis dan berkualitas baik. Kesehatan fisik dan mental kita dipengaruhi oleh kualitas hubungan kita dengan orang lain (Robles et al., 2014 dalam Miller, 2018). Maka apabila terwujud hubungan suami-istri yang harmonis oleh sebab akhlak baik itu, dapat diekspektasikan bahwa kesehatan fisik dan mentalnya juga akan baik, dengan izin Allah.
Selain itu, apabila kedua-duanya bertauhid, ini termasuk ke dalam kesamaan (similarity) antara keduanya. Menurut similarity-dissimilarity effect, seseorang akan cenderung memberi respon positif terhadap orang yang dipersepsikan sama dengan dirinya dalam hal sikap, keyakinan, nilai, dan minat (Baron & Branscombe, 2012). Jadi, kesamaan bertauhid itu akan meningkatkan respon positif di antara keduanya dan kebahagiaanya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kita untuk taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Q.S. Ali Imran (3) : 132 yang berbunyi: “Dan taatilah Allah dan Rasul supaya kamu diberi rahmat.” Dalam masalah pernikahan, Rasulullah telah memberi contoh yang sangat baik. Istri beliau, ‘Aisyah radhiyallahu anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi shalat” (H.R. Bukhari) (Bahraen, 2018).
Jika dilihat sekilas, contoh tersebut tampak tidak terlalu signifikan. Tetapi riset menemukan bahwa kurangnya partisipasi suami dalam pekerjaan rumah tangga dan ketidakpuasan istri dalam pembagian pekerjaan rumah sangat berkontribusi terhadap ketegangan dan konflik dalam pernikahan (Hochschild & Machung, 1989; Kluwer et al.,1996; Stohs, 2000, dalam Frisco & Williams, 2003). Riset lebih lanjut menyatakan bahwa sebenarnya yang berpengaruh adalah persepsi sang suami atau istri terhadap ketidakadilan pembagian pekerjaan rumah tangga itulah yang mengurangi kualitas pernikahan, dalam hal ini kebahagiaan dalam pernikahan (Frisco & Williams, 2003). Kesimpulannya, dengan bertauhid, taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya akan membuka jalan kepada pernikahan yang bahagia.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Munajjid, M.S. (2006). How can Tawheed be achieved and what is the promised reward? Diakses pada 13 September 2019 dari https://islamqa.info/en/answers/96083/how-can-tawheed-be-achieved-and-what-is-the-promised-reward
Al-Utsaimin, M.B.S. (2016). Syarhu Tsalatsatil Ushul (Ulasan Tuntas tentang Tiga Prinsip Pokok). (Z.A. Syamsuddin, A.H. Arifin, Terjemahan). Jakarta: Darul Haq
Al-Qur’an
Asy-Syuri, M.M.S. (2017). Tuhfah Al-Arusain (Mahkota Pengantin, Bingkisan Istimewa untuk Suami Istri). (A. Syaikhu, Terjemahan). Jakarta: Pustaka At-Tazkia.
Bahraen, R. (2018). Sunnah Membantu Istri di Rumah. Diakses pada 13 September 2019 dari https://muslim.or.id/39376-sunnah-membantu-istri-di-rumah.html
Baron, R.A., & Branscombe, N.R. (2012). Social Psychology (13th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc.
Frisco, M.L., & Williams, K. (2003). Perceived Housework Equity, Marital Happiness, and Divorce in Dual-Earner Households. Journal of Family Issues, 24(1):51-73. DOI: 10.1177/0192513X02238520
Hakim, M.S. (2018). Keistimewaan dan Keutamaan Tauhid (Bag. 1). Diakses pada 13 September 2019 dari https://muslim.or.id/44481-keistimewaan-dan-keutamaan-tauhid-bag-1.html
Indonesia Bertauhid. (2015). Fitrah Manusia adalah Tauhid. Diakses pada 13 September 2019 dari https://indonesiabertauhid.com/2015/05/14/fitrah-manusia-adalah-tauhid/
Jawas, Y.B.A.Q. (2004). Konsep Islam tentang Perkawinan. Diakses pada 13 September 2019 dari https://almanhaj.or.id/173-konsep-islam-tentang-perkawinan.html
Miller, R.S. (2018). Intimate Relationships. New York: McGraw-Hill Education.
Newman, D. B., & Graham, J. (2018). Religion and well-being. In E. Diener, S. Oishi, & L. Tay (Eds.), Handbook of well-being. Salt Lake City, UT: DEF Publishers. DOI:nobascholar.com
Pransiska, T. (2016). Konsepsi Fitrah Manusia dalam Perspektif Islam dan Implikasinya pada Pendidikan Islam Kontemporer. Jurnal Ilmiah Didaktika, 17(1), 1–17. https://doi.org/10.22373/jid.v17i1.1586
Wahhab, M.B.A. (2016). Al-Ushul Ats-Tsalatsah (Tiga Landasan Pokok Akidah Islam). (A.H. Arifin, Terjemahan). Jakarta: Darul Haq

Iman terhadap Takdir Allah dalam Penanganan Stres

Hidup kita sebagai manusia tidak akan luput dari cobaan. Syaikh al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab kumpulan fatwanya Fatawa Al-Islamiyyah mengatakan bahwa cobaan atau ujian tersebut pada dasarnya merupakan cara Allah ta’ala untuk menguji keimanan kita serta suatu peluang bagi kita untuk mendapat pahala dan pujian dari Allah dengan ketabahan kita (al-Munajjid, 2002). Selain itu, cobaan juga membantu kita untuk menyadari (kembali) kebenaran penciptaan kita dan memenuhi potensi perkembangan spiritual kita (Utz, 2011). Apabila kita bersabar menghadapi cobaan, maka hal tersebut dapat menjadi penghapus dosa-dosa kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apa saja yang menimpa seseorang Muslim seperti rasa letih, sedih, sakit, gelisah, sampai duri yang menusuknya, melainkan Allâh akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya dengan sebab itu semua.” (H.R. Bukhari & Muslim dalam al-Qasim, 2013).
Cobaan tersebut dapat bersumber dari aspek kehidupan mana saja, seperti pekerjaan, keluarga, atau lingkungan masyarakat. Contohnya adalah musibah, kehilangan, atau penyakit. Tentu saja cobaan-cobaan tersebut dapat menyebabkan perasaan negatif, khususnya stres. Stres sendiri adalah pengalaman emosional negatif yang diikuti oleh perubahan biokimia, fisiologis, kognitif, serta perilaku yang dapat diprediksi yang bertujuan untuk mengubah peristiwa yang stressful atau beradaptasi dengannya (Taylor, 2012). Lebih lanjut, stres dapat dilihat sebagai hasil dari penilaian (appraisal) terhadap suatu peristiwa (Lazarus, 1966 dalam Oltmanns, 2013). Kemudian Lazarus & Folkman (1984) dalam Oltmanns (2013) membedakan dua jenis penilaian:
Primary appraisals, di mana kita menilai dampak dari peristiwa tersebut.
Secondary appraisals, di mana kita menilai kemampuan dan sumber daya kita dalam menghadapi peristiwa tersebut.
Dari penilaian tersebut, kita menentukan apakah peristiwa yang bersangkutan menantang atau tidak. Apabila kita menentukan bahwa peristiwa tersebut menantang atau mengancam kita akan mengalami emosi negatif kemudian kita akan berusaha untuk menghilangkan, mengurangi, atau menghindari stressor (peristiwa atau hal yang menyebabkan stres) tersebut.

Takdir dan Iman terhadapnya
Sebagai seorang muslim, kita harus melihat semua peristiwa dari kacamata syari’at Islam. Begitu pula apabila ada suatu peristiwa menantang yang menyebabkan stres (dalam hal ini berupa cobaan). Syari’at Islam dapat kita libatkan dalam menghadapinya. Secara spesifik, syari’at yang dapat kita soroti adalah perintah untuk beriman terhadap takdir Allah subhanahu wa ta’ala.
Beriman terhadap takdir Allah ta’ala merupakan rukun iman yang keenam. Tidak sah iman seorang muslim sampai ia beriman kepada takdir Allah ta’ala, yang baik maupun yang buruk. Malaikat Jibril ‘alaihissalam pernah menjelma di hadapan Rasulullah dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum kemudian meminta dijelaskan tentang iman kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (H.R. Muslim no. 8 dalam an-Nawawi, n.d.).
Dalam hadits tersebut, kata “takdir” yang berarti ketetapan Allah disebutkan dengan istilah “qadar”. Para ulama bersilang pendapat tentang masalah arti qadha dan qadar, dan keduanya memiliki inti yang sama yaitu merupakan ketetapan Allah (Baits, 2018). Maka dari itu, penulis mengambil pendapat bahwa keduanya adalah sama seperti fatwa dari Syaikh bin Baz rahimahullah yaitu:
Qadha dan qadar adalah dua kata yang artinya sama. Yaitu sesuatu yang telah Allah qadha’-kan (tetapkan) dulu, dan yang telah Allah takdirkan dulu. Bisa disebut qadha, bisa disebut taqdir. (http://www.binbaz.org.sa/noor/1480)
Namun, perlu diingat bahwa konsep “semua hal adalah kehendak Allah” tidak menafikan (menghapus) bahwa manusia memiliki kehendak untuk memilih suatu perbuatan (al-Utsaimin, 2016). Secara naluriah pun kita dapat membedakan apabila kita melakukan sesuatu dengan kehendak sendiri (free will) atau tidak. Walaupun kehendak kita dalam memilih suatu perbuatan pada dasarnya juga merupakan kehendak Allah, hal tersebut tidak dapat dijadikan hujjah (argumen) untuk kita meninggalkan suatu kewajiban atau berbuat keburukan (lihat Q.S. Al-An’am (6): 148). Karena maksudnya adalah bahwa Allah Maha Mengetahui kita akan memilih perbuatan tersebut kemudian terjadilah atas kehendak-Nya. Karena bagi Allah mudah saja untuk menjadikan kehendak kita itu tidak terlaksana.

Menghadapi Stres dengan Iman terhadap Takdir Allah
Kita dapat mengimplementasikan (dan seharusnya memang begitu) konsep keimanan terhadap takdir Allah ta’ala dalam menghadapi stres. Pertama pada primary appraisals, kita hendaknya menyadari dan menghayati bahwa semua kejadian dalam hidup kita merupakan kehendak Allah ta’ala. Mungkin cobaan yang kita alami memberikan dampak buruk bagi kita, namun pada hakikatnya semua kehendak Allah pasti memiliki hikmah dan merupakan yang terbaik bagi kita. Allah ta’ala berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 216).
Selain itu, apa yang ditakdirkan untuk kita maka pasti kita akan mengalaminya. Dari ‘Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu.” (H.R. Tirmidzi no. 2516 dalam Pranowo, 2013). Maka dari itu, sedikit sekali manfaat yang kita dapatkan apabila kita berlarut-larut dalam stres. Kesimpulan untuk primary appraisals, yaitu bahwa dalam menilai dampak peristiwa yang stressful, hendaknya kita memahami dan menghayati bahwa peristiwa tersebut pasti merupakan yang terbaik sesuai hikmah Allah dan pasti terjadi. Yang sebaiknya kita lakukan adalah bersabar dan berdo’a.
Kedua, pada secondary appraisals kita hendaknya menyadari bahwa:
Allah tidak akan menguji kita dengan cobaan di luar kemampuan kita. Allah ta’ala berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah (2): 286).
Allah menguji kita karena cinta-Nya kepada kita. Ujian yang menimpa orang-orang yang Allah cintai, itu dalam rangka menyucikannya, dan mengangkat derajatnya, sehingga mereka menjadi teladan bagi yang lainnya dan bisa bersabar (Purnama, 2017).
Allah tidak meninggalkan kita sendiri. Yang tinggal kita lakukan adalah berdo’a memohon kemudahan dan kesabaran (ad-Dariny, 2014). Selain itu, jangan lupakan bahwa Allah berfirman dalam Q.S. At-Taubah (9): 40, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Makna kebersamaan (maiyyah) dalam ayat tersebut dapat dibagi dua, salah satunya adalah maiyyah khashah (kebersaman yang khusus) yaitu bagi kaum mukminin, berupa pertolongan, penguatan, penjagaan, dan perlindungan-Nya bagi mereka (Kartika, 2015).

Iman terhadap Takdir dalam Psikoterapi Teistik
Selain penerapan keimanan terhadap takdir Allah dalam stress appraisals tersebut, aplikasi iman terhadap takdir Allah ta’ala juga sejalan dengan konsep pendekatan psikoterapi teistik dari Richards & Bergin (2005) yang dikutip oleh Utz (2011). Keimanan terhadap takdir Allah ta’ala dapat diintegrasikan dengan beberapa pokok dari pendekatan tersebut, di antaranya:
Scientific theism, maksudnya adalah Tuhan sebagai pengendali absolut atas alam semesta, dan manusia dapat memahami-Nya dan alam semesta secara terbatas. Metode ilmiah dapat menggali beberapa aspek realitas namun metode spiritual juga diperlukan.
Apabila dikaitkan dengan keimanan terhadap takdir Allah, apabila kita beriman terhadapnya maka tentu kita mengimani bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Allah, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dengan iman tersebut, kita akan dapat lebih menerima apa yang terjadi dalam hidup kita sehingga stres akan berkurang.

Agency, maksudnya adalah bahwa manusia memiliki moral agency serta memiliki kemampuan untuk memilih dan meregulasi perilakunya. Perilaku manusia memiliki anteseden biologis dan lingkungan yang membatasi opsi pilihannya namun bukan agency-nya. Opsi tersebut memiliki konsekuensi.
Hal ini berkaitan dengan konsep kehendak manusia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa manusia memiliki kehendak yang telah diketahui Allah ta’ala kemudian terjadi atas kehendak-Nya. Dengan adanya kehendak itu, kita akan merasa lebih optimis.

Theistic relationism, maksudnya adalah bahwa manusia memiliki bawaan sebagai makhluk sosial dan relasional, serta dapat dipahami dengan paling baik lewat hubungannya dengan orang lain dan dengan Tuhannya.
Keimanan terhadap takdir Allah ta’ala juga merupakan suatu bentuk hubungan antara seorang muslim dengan Allah. Maka hubungan ini dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku manusia, dalam hal ini adalah perilaku dalam menangani stres.
Adapun pokok lainnya dalam pendekatan tersebut (yang tidak dapat dibahas) adalah theistic holism, moral universalism, serta altruism.

Kesimpulan Akhir
Hidup kita sebagai manusia tidak akan luput dari cobaan yang dapat menyebabkan perasaan negatif, khususnya stres. Stres dapat dilihat sebagai hasil dari penilaian (appraisal) terhadap suatu peristiwa (Lazarus, 1966 dalam Oltmanns, 2013) yang dibedakan menjadi dua jenis penilaian (Lazarus & Folkman, 1984 dalam Oltmanns, 2013) yaitu primary appraisal dan secondary appraisal. Takdir berarti ketetapan Allah dan kita diperintahkan untuk mengimaninya (rukun iman keenam). Adanya ketetapan Allah tidak menafikan bahwa kita pun memiliki kehendak sendiri yang berada di bawah kehendak Allah.
Iman terhadap takdir Allah dapat diimplementasikan dalam menghadapi stres. Pada primary appraisal hendaknya kita memahami dan menghayati bahwa peristiwa tersebut pasti merupakan yang terbaik sesuai hikmah Allah dan pasti terjadi. Pada secondary appraisal, hendaknya kita menyadari bahwa kita pasti mampu untuk menghadapi cobaan karena Allah tidak menguji melainkan sesuai dengan kesanggupan. Selain itu, Allah menguji kita atas dasar cinta-Nya kepada kita dan Dia ta’ala tidak akan meninggalkan kita sendirian, kita bisa berdo’a memohon pertolongan kepada-Nya.
Selain itu, iman terhadap takdir Allah dapat diintegrasikan dengan konsep pendekatan psikoterapi teistik dari Richards & Bergin (2005) yang dikutip oleh Utz (2011). Pokok-pokok pendekatan yang dapat diintegrasikan adalah scientific theism, agency, serta theistic relationism.


DAFTAR PUSTAKA

Baits, A.N. (2018). Beda Qadha dan Qadar. Diakses pada 25 Oktober 2019 dari https://konsultasisyariah.com/31768-beda-qadha-dan-qadar.html
ad-Dariny, M. (2014). 10 Tips Agar Tegar Menghadapi Cobaan. Diakses pada 25 Oktober 2019 dari https://muslim.or.id/23059-10-tips-agar-tegar-menghadapi-cobaan.html
Kartika, I. (2015). Makna Maiyyah dalam Surat At Taubah. Diakses pada 25 Oktober 2019 dari https://muslimah.or.id/7113-makna-maiyyah-dalam-surat-at-taubah.html
al-Munajjid, M.S. (2002). Manfaat Cobaan bagi Seorang Mukmin. Diakses pada 20 Oktober 2019 dari https://islamqa.info/id/answers/12099/manfaat-cobaan-bagi-seorang-mukmin
an-Nawawi. (n.d.). Matan Hadits Arba’in. (Tim Pustaka Ibnu ‘Umar, Terjemahan). Jakarta: Pustaka Ibnu ‘Umar.
Oltmanns, T. F., Emery, R. E. (2013). Psikologi Abnormal (Buku Kedua) Edisi Ketujuh. (H.P. Soetjipto, S.M. Soetjipto, Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pranowo, A. (2013). Jagalah Allah, Ia akan Menjagamu. Diakses pada 25 Oktober 2019 dari https://muslim.or.id/19367-jagalah-allah-ia-akan-menjagamu.html
Purnama, Y. (2017). Jika Allah Mencintai Seorang Hamba, Ia akan Diuji. Diakses pada 25 Oktober 2019 dari https://muslim.or.id/32540-jika-allah-mencintai-seorang-hamba-ia-akan-diuji.html
al-Qasim, A.M. (2013). Penghapus Dosa-Dosa (2). Diakses pada 24 Oktober 2019 dari https://almanhaj.or.id/4297-penghapus-dosa-dosa-2.html
Taylor, S.E. (2012). Health Psychology (9th ed.). New York: McGraw-Hill Education.
Al-Utsaimin, M.B.S. (2016). Syarhu Tsalatsatil Ushul (Ulasan Tuntas tentang Tiga Prinsip Pokok). (Z.A. Syamsuddin, A.H. Arifin, Terjemahan). Jakarta: Darul Haq
Utz, A. (2011). Psychology from the Islamic Perspective. Riyadh: International Islamic Publishing House.

Tentang Niskala Carita

Jika mengintip KBBI, niskala (nis.ka.la) merupakan kata sifat atau adjektiva yang memiliki arti tidak berwujud; mujarad; abstrak.

Sedangkan, carita adalah Bahasa Sunda yang berarti cerita, kisah, atau riwayat.

Jadi, niskala carita secara utuh berarti sebuah kisah yang tidak berwujud. Mengapa tidak berwujud? Karena awalnya berasal dari imajinasi dan pemikiran yang tidak ada wujud fisiknya.

Pemikiran kita adalah milik kita sendiri, sampai kita mengemukakannya.

Pemikiran kita adalah abstrak, sampai kita menuangkannya.

Inilah, Niskala Carita, buah pikiran yang telah dituangkan dan dikemukakan.

Apa itu Instructional Design?

Secara sederhana, instructional design adalah proses merancang sebuah course pembelajaran yang efektif dan menarik. Biasanya course tersebut berupa e-learning atau pembelajaran jarak jauh. Seorang instructional designer bertugas untuk merancang pembelajaran sedemikian rupa agar pembelajaran efektif dan menarik bagi audiens. Oleh karena itu, proses yang dilakukan biasanya adalah menganalisis kebutuhan pembelajaran, menyusun silabus, membuat storyboard, hingga merancang alat evaluasi seperti kuis.

Model yang digunakan dalam proses Instructional Design biasanya adalah ADDIE atau SAM. ADDIE adalah singkatan dari tahap-tahap yang dilakukan, yaitu:

  1. Analysis, di tahap ini dilakukan analisis kebutuhan pembelajaran serta analisis karakteristik audiens.
  2. Design, di tahap ini dilakukan penyusunan tujuan pembelajaran, struktur materi, serta perancangan alat asesmen untuk evaluasi.
  3. Development, di tahap ini rancangan-rancangan yang sudah dibuat sebelumnya mulai dikembangkan menjadi course yang menarik, yaitu dengan membuat storyboard.
  4. Implementation, di tahap ini course sudah diluncurkan dan sudah dapat digunakan oleh pembelajar.
  5. Evaluation, di tahap ini dilakukan evaluasi, baik evaluasi ketercapaian tujuan pembelajaran maupun evaluasi course secara keseluruhan (proses pengembangannya, kualitasnya, dsb).

Proses Instructional Design pun melibatkan berbagai pihak, di antaranya:

  1. Instructional Designer itu sendiri
  2. Subject Matters Expert atau SME yang merupakan ahli dalam konten pembelajaran yang dibuat
  3. Animator dan designer yang membuat storyboard dan audiovisual
  4. Quality assurance yang bertugas mengontrol dan mengecek kualitas hasil pekerjaan.

Dalam mengembangkan course, seorang Instructional Designer juga perlu memahami berbagai teori-teori belajar, seperti Bloom’s Taxonomy, Gagne’s Events of Instruction, hingga Teori Andragogi (Adult Learning Theory). Teori Bloom’s Taxonomy terutama berguna untuk membantu merumuskan tujuan pembelajaran dan menemukan metode penyampaian yang tepat.


Sumber:

  • Basic Instructional Design Course dari Skill Academy by Ruangguru
  • Materi-materi mata kuliah Psikologi Pendidikan Terapan serta Perancangan Program Pelatihan

Tentang Saya

Halo!

Namaku Vialita Fitria Survanta Idham. Kalau kepanjangan, panggil saja Lita atau Vanta. Aku lahir pada tahun 1999, jadi aku merupakan bagian dari Gen Z. Hehe.

Blog ini dibuat sebagai media kurasi dari proyek-proyek ataupun tulisan yang kubuat. Ada contoh rancangan pelatihan, esai psikologi Islam, dan lain-lain. Mungkin juga aku akan menulis berbagai pemikiranku di sini.

Aku harap apa yang aku tulis di blog ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

See you! 😀