Hidup kita sebagai manusia tidak akan luput dari cobaan. Syaikh al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab kumpulan fatwanya Fatawa Al-Islamiyyah mengatakan bahwa cobaan atau ujian tersebut pada dasarnya merupakan cara Allah ta’ala untuk menguji keimanan kita serta suatu peluang bagi kita untuk mendapat pahala dan pujian dari Allah dengan ketabahan kita (al-Munajjid, 2002). Selain itu, cobaan juga membantu kita untuk menyadari (kembali) kebenaran penciptaan kita dan memenuhi potensi perkembangan spiritual kita (Utz, 2011). Apabila kita bersabar menghadapi cobaan, maka hal tersebut dapat menjadi penghapus dosa-dosa kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apa saja yang menimpa seseorang Muslim seperti rasa letih, sedih, sakit, gelisah, sampai duri yang menusuknya, melainkan Allâh akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya dengan sebab itu semua.” (H.R. Bukhari & Muslim dalam al-Qasim, 2013).
Cobaan tersebut dapat bersumber dari aspek kehidupan mana saja, seperti pekerjaan, keluarga, atau lingkungan masyarakat. Contohnya adalah musibah, kehilangan, atau penyakit. Tentu saja cobaan-cobaan tersebut dapat menyebabkan perasaan negatif, khususnya stres. Stres sendiri adalah pengalaman emosional negatif yang diikuti oleh perubahan biokimia, fisiologis, kognitif, serta perilaku yang dapat diprediksi yang bertujuan untuk mengubah peristiwa yang stressful atau beradaptasi dengannya (Taylor, 2012). Lebih lanjut, stres dapat dilihat sebagai hasil dari penilaian (appraisal) terhadap suatu peristiwa (Lazarus, 1966 dalam Oltmanns, 2013). Kemudian Lazarus & Folkman (1984) dalam Oltmanns (2013) membedakan dua jenis penilaian:
Primary appraisals, di mana kita menilai dampak dari peristiwa tersebut.
Secondary appraisals, di mana kita menilai kemampuan dan sumber daya kita dalam menghadapi peristiwa tersebut.
Dari penilaian tersebut, kita menentukan apakah peristiwa yang bersangkutan menantang atau tidak. Apabila kita menentukan bahwa peristiwa tersebut menantang atau mengancam kita akan mengalami emosi negatif kemudian kita akan berusaha untuk menghilangkan, mengurangi, atau menghindari stressor (peristiwa atau hal yang menyebabkan stres) tersebut.
Takdir dan Iman terhadapnya
Sebagai seorang muslim, kita harus melihat semua peristiwa dari kacamata syari’at Islam. Begitu pula apabila ada suatu peristiwa menantang yang menyebabkan stres (dalam hal ini berupa cobaan). Syari’at Islam dapat kita libatkan dalam menghadapinya. Secara spesifik, syari’at yang dapat kita soroti adalah perintah untuk beriman terhadap takdir Allah subhanahu wa ta’ala.
Beriman terhadap takdir Allah ta’ala merupakan rukun iman yang keenam. Tidak sah iman seorang muslim sampai ia beriman kepada takdir Allah ta’ala, yang baik maupun yang buruk. Malaikat Jibril ‘alaihissalam pernah menjelma di hadapan Rasulullah dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum kemudian meminta dijelaskan tentang iman kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (H.R. Muslim no. 8 dalam an-Nawawi, n.d.).
Dalam hadits tersebut, kata “takdir” yang berarti ketetapan Allah disebutkan dengan istilah “qadar”. Para ulama bersilang pendapat tentang masalah arti qadha dan qadar, dan keduanya memiliki inti yang sama yaitu merupakan ketetapan Allah (Baits, 2018). Maka dari itu, penulis mengambil pendapat bahwa keduanya adalah sama seperti fatwa dari Syaikh bin Baz rahimahullah yaitu:
Qadha dan qadar adalah dua kata yang artinya sama. Yaitu sesuatu yang telah Allah qadha’-kan (tetapkan) dulu, dan yang telah Allah takdirkan dulu. Bisa disebut qadha, bisa disebut taqdir. (http://www.binbaz.org.sa/noor/1480)
Namun, perlu diingat bahwa konsep “semua hal adalah kehendak Allah” tidak menafikan (menghapus) bahwa manusia memiliki kehendak untuk memilih suatu perbuatan (al-Utsaimin, 2016). Secara naluriah pun kita dapat membedakan apabila kita melakukan sesuatu dengan kehendak sendiri (free will) atau tidak. Walaupun kehendak kita dalam memilih suatu perbuatan pada dasarnya juga merupakan kehendak Allah, hal tersebut tidak dapat dijadikan hujjah (argumen) untuk kita meninggalkan suatu kewajiban atau berbuat keburukan (lihat Q.S. Al-An’am (6): 148). Karena maksudnya adalah bahwa Allah Maha Mengetahui kita akan memilih perbuatan tersebut kemudian terjadilah atas kehendak-Nya. Karena bagi Allah mudah saja untuk menjadikan kehendak kita itu tidak terlaksana.
Menghadapi Stres dengan Iman terhadap Takdir Allah
Kita dapat mengimplementasikan (dan seharusnya memang begitu) konsep keimanan terhadap takdir Allah ta’ala dalam menghadapi stres. Pertama pada primary appraisals, kita hendaknya menyadari dan menghayati bahwa semua kejadian dalam hidup kita merupakan kehendak Allah ta’ala. Mungkin cobaan yang kita alami memberikan dampak buruk bagi kita, namun pada hakikatnya semua kehendak Allah pasti memiliki hikmah dan merupakan yang terbaik bagi kita. Allah ta’ala berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 216).
Selain itu, apa yang ditakdirkan untuk kita maka pasti kita akan mengalaminya. Dari ‘Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu.” (H.R. Tirmidzi no. 2516 dalam Pranowo, 2013). Maka dari itu, sedikit sekali manfaat yang kita dapatkan apabila kita berlarut-larut dalam stres. Kesimpulan untuk primary appraisals, yaitu bahwa dalam menilai dampak peristiwa yang stressful, hendaknya kita memahami dan menghayati bahwa peristiwa tersebut pasti merupakan yang terbaik sesuai hikmah Allah dan pasti terjadi. Yang sebaiknya kita lakukan adalah bersabar dan berdo’a.
Kedua, pada secondary appraisals kita hendaknya menyadari bahwa:
Allah tidak akan menguji kita dengan cobaan di luar kemampuan kita. Allah ta’ala berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah (2): 286).
Allah menguji kita karena cinta-Nya kepada kita. Ujian yang menimpa orang-orang yang Allah cintai, itu dalam rangka menyucikannya, dan mengangkat derajatnya, sehingga mereka menjadi teladan bagi yang lainnya dan bisa bersabar (Purnama, 2017).
Allah tidak meninggalkan kita sendiri. Yang tinggal kita lakukan adalah berdo’a memohon kemudahan dan kesabaran (ad-Dariny, 2014). Selain itu, jangan lupakan bahwa Allah berfirman dalam Q.S. At-Taubah (9): 40, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Makna kebersamaan (maiyyah) dalam ayat tersebut dapat dibagi dua, salah satunya adalah maiyyah khashah (kebersaman yang khusus) yaitu bagi kaum mukminin, berupa pertolongan, penguatan, penjagaan, dan perlindungan-Nya bagi mereka (Kartika, 2015).
Iman terhadap Takdir dalam Psikoterapi Teistik
Selain penerapan keimanan terhadap takdir Allah dalam stress appraisals tersebut, aplikasi iman terhadap takdir Allah ta’ala juga sejalan dengan konsep pendekatan psikoterapi teistik dari Richards & Bergin (2005) yang dikutip oleh Utz (2011). Keimanan terhadap takdir Allah ta’ala dapat diintegrasikan dengan beberapa pokok dari pendekatan tersebut, di antaranya:
Scientific theism, maksudnya adalah Tuhan sebagai pengendali absolut atas alam semesta, dan manusia dapat memahami-Nya dan alam semesta secara terbatas. Metode ilmiah dapat menggali beberapa aspek realitas namun metode spiritual juga diperlukan.
Apabila dikaitkan dengan keimanan terhadap takdir Allah, apabila kita beriman terhadapnya maka tentu kita mengimani bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Allah, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dengan iman tersebut, kita akan dapat lebih menerima apa yang terjadi dalam hidup kita sehingga stres akan berkurang.
Agency, maksudnya adalah bahwa manusia memiliki moral agency serta memiliki kemampuan untuk memilih dan meregulasi perilakunya. Perilaku manusia memiliki anteseden biologis dan lingkungan yang membatasi opsi pilihannya namun bukan agency-nya. Opsi tersebut memiliki konsekuensi.
Hal ini berkaitan dengan konsep kehendak manusia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa manusia memiliki kehendak yang telah diketahui Allah ta’ala kemudian terjadi atas kehendak-Nya. Dengan adanya kehendak itu, kita akan merasa lebih optimis.
Theistic relationism, maksudnya adalah bahwa manusia memiliki bawaan sebagai makhluk sosial dan relasional, serta dapat dipahami dengan paling baik lewat hubungannya dengan orang lain dan dengan Tuhannya.
Keimanan terhadap takdir Allah ta’ala juga merupakan suatu bentuk hubungan antara seorang muslim dengan Allah. Maka hubungan ini dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku manusia, dalam hal ini adalah perilaku dalam menangani stres.
Adapun pokok lainnya dalam pendekatan tersebut (yang tidak dapat dibahas) adalah theistic holism, moral universalism, serta altruism.
Kesimpulan Akhir
Hidup kita sebagai manusia tidak akan luput dari cobaan yang dapat menyebabkan perasaan negatif, khususnya stres. Stres dapat dilihat sebagai hasil dari penilaian (appraisal) terhadap suatu peristiwa (Lazarus, 1966 dalam Oltmanns, 2013) yang dibedakan menjadi dua jenis penilaian (Lazarus & Folkman, 1984 dalam Oltmanns, 2013) yaitu primary appraisal dan secondary appraisal. Takdir berarti ketetapan Allah dan kita diperintahkan untuk mengimaninya (rukun iman keenam). Adanya ketetapan Allah tidak menafikan bahwa kita pun memiliki kehendak sendiri yang berada di bawah kehendak Allah.
Iman terhadap takdir Allah dapat diimplementasikan dalam menghadapi stres. Pada primary appraisal hendaknya kita memahami dan menghayati bahwa peristiwa tersebut pasti merupakan yang terbaik sesuai hikmah Allah dan pasti terjadi. Pada secondary appraisal, hendaknya kita menyadari bahwa kita pasti mampu untuk menghadapi cobaan karena Allah tidak menguji melainkan sesuai dengan kesanggupan. Selain itu, Allah menguji kita atas dasar cinta-Nya kepada kita dan Dia ta’ala tidak akan meninggalkan kita sendirian, kita bisa berdo’a memohon pertolongan kepada-Nya.
Selain itu, iman terhadap takdir Allah dapat diintegrasikan dengan konsep pendekatan psikoterapi teistik dari Richards & Bergin (2005) yang dikutip oleh Utz (2011). Pokok-pokok pendekatan yang dapat diintegrasikan adalah scientific theism, agency, serta theistic relationism.
DAFTAR PUSTAKA
Baits, A.N. (2018). Beda Qadha dan Qadar. Diakses pada 25 Oktober 2019 dari https://konsultasisyariah.com/31768-beda-qadha-dan-qadar.html
ad-Dariny, M. (2014). 10 Tips Agar Tegar Menghadapi Cobaan. Diakses pada 25 Oktober 2019 dari https://muslim.or.id/23059-10-tips-agar-tegar-menghadapi-cobaan.html
Kartika, I. (2015). Makna Maiyyah dalam Surat At Taubah. Diakses pada 25 Oktober 2019 dari https://muslimah.or.id/7113-makna-maiyyah-dalam-surat-at-taubah.html
al-Munajjid, M.S. (2002). Manfaat Cobaan bagi Seorang Mukmin. Diakses pada 20 Oktober 2019 dari https://islamqa.info/id/answers/12099/manfaat-cobaan-bagi-seorang-mukmin
an-Nawawi. (n.d.). Matan Hadits Arba’in. (Tim Pustaka Ibnu ‘Umar, Terjemahan). Jakarta: Pustaka Ibnu ‘Umar.
Oltmanns, T. F., Emery, R. E. (2013). Psikologi Abnormal (Buku Kedua) Edisi Ketujuh. (H.P. Soetjipto, S.M. Soetjipto, Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pranowo, A. (2013). Jagalah Allah, Ia akan Menjagamu. Diakses pada 25 Oktober 2019 dari https://muslim.or.id/19367-jagalah-allah-ia-akan-menjagamu.html
Purnama, Y. (2017). Jika Allah Mencintai Seorang Hamba, Ia akan Diuji. Diakses pada 25 Oktober 2019 dari https://muslim.or.id/32540-jika-allah-mencintai-seorang-hamba-ia-akan-diuji.html
al-Qasim, A.M. (2013). Penghapus Dosa-Dosa (2). Diakses pada 24 Oktober 2019 dari https://almanhaj.or.id/4297-penghapus-dosa-dosa-2.html
Taylor, S.E. (2012). Health Psychology (9th ed.). New York: McGraw-Hill Education.
Al-Utsaimin, M.B.S. (2016). Syarhu Tsalatsatil Ushul (Ulasan Tuntas tentang Tiga Prinsip Pokok). (Z.A. Syamsuddin, A.H. Arifin, Terjemahan). Jakarta: Darul Haq
Utz, A. (2011). Psychology from the Islamic Perspective. Riyadh: International Islamic Publishing House.